Thursday, November 1, 2012

Ini Dia Kapal yang Dulu Diseret Tsunami Aceh

Dari atas kapal, wisatawan bisa melihat Banda Aceh

Jangkar kapal, PLTD Apung ini dibiarkan apa adanya dan menjadi bukti sejarah 

Telepon rusak, masih banyak sisa-sisa bencana di kapal ini

Monumen Tsunami yang menggambarkan saat peristiwa terjadi

Tsunami yang menghempas Aceh, sudah sewindu berlalu. Kehidupan warga telah normal. Namun, kisah tragedi itu seolah tak pernah redup. Kapal PLTD Apung yang terseret ke daratan, menyimpan cerita pilu untuk wisatawan.

PLTD Apung merupakan kapal berbobot 2.600 ton. Saat kejadian, kapal ini berada di Pantai Ulee Lhee , Banda Aceh. Akibat diterjang tsunami, kapal terseret dan terdampar 5 km dari lokasi awal lalu menghunjam di perkampungan, Gampong Punge, Blangcut.

"Buka jam 2 nanti (14.00 WIB). Sekarang petugas istirahat," kata seorang penjual CD tentang tsunami saat saya dan rombongan menjejakkan kaki di parkiran depan PLTD Apung, Banda Aceh, Kamis (25/10/2012) lalu.

Pintu gerbang dipasangi tulisan 'Tutup'. Penjual CD dan temannya mendekati kami. Mengetahui kami takjub memandang kapal, keduanya bercerita tentang tsunami 2004 silam dengan antusias, mulai dari datangnya air hingga PLTD yang akhirnya terdampar tersebut.

"Kapal seberat itu bisa sampai sini. Untung tidak kena masjid. Masjidnya tidak rusak," kata penjual CD sambil menunjuk masjid di seberang PLTD. Jarak masjid dengan lokasi terdamparnya PLTD Apung kurang lebih hanya 40 meter.

"Padahal rumah-rumah di sini habis disapu tsunami dan kapal itu," tambahnya.

Tepat pukul 14.00 WIB, seorang petugas membuka pintu gerbang. Kami dan pengunjung lainnya segera menapaki kompleks PLTD. Sebelumnya, area ini hanya berupa lahan terbuka. Namun pada April 2012, di sekeliling area dipagari besi setinggi 1,5 meter. Beragam fasilitas ditambah, mulai dari jembatan, prasasti hingga ruang dokumentasi.

Untuk masuk, pengunjung tidak dikenakan tiket. Namun ada kotak sumbangan di dekat pintu masuk. Pengunjung dibebaskan, mengisi silakan, tidak juga tidak apa-apa. Petugas tidak meminta pengunjung mengisi kotak tersebut saat meninggalkan area tersebut.

"Kalau mau lihat laut, pakai teropong. Masukkan koin Rp 500 warna kuning," jelas petugas kepada 1-2 pengunjung yang bertanya-tanya di pos jaga.

Di depan pos jaga terdapat prasasti setinggi kurang lebih 2,5 meter. Di bagian paling atas terdapat jam bundar yang merujuk angka 07.55 WIB (waktu terjadinya tsunami). Di bawah prasasti berisi nama-nama desa dan korban jiwa. Di dekat prasasti terdapat relief terbuat dari tembaga yang berkisah terdamparnya PLTD.

Setelah melintasi prasasti, pengunjung langsung dihadapkan pada kapal raksasa yang bagian bawahnya terbenam di tanah. Ada beberapa undakan di kapal ini. Di puncak terdapat beberapa teropong. Jika diarahkan ke utara, maka terpampang Samudera Hindia, ke selatan dan timur ada Kota Banda Aceh, dan ke arah barat ada kota dan perbukitan.

Kondisi kapal masih utuh. Sisa-sisa tsunami juga terlihat jelas, seperti rumput yang tersangkut di ban, pasir di dalam ruangan, kabel yang putus, dan lain-lain. Jangkar tergeletak berada di dek paling bawah.

Pada hari biasa, kawasan wisata tsunami yang dilengkapi dengan taman edukasi tsunami dan dokumentasi foto tsunami di bagian samping pintu masuk ini tak terlalu banyak pengunjung. "Yang paling ramai ya Sabtu, Minggu atau pas hari libur. Sebagian dari luar (luar Aceh-red)," kata petugas jaga, Usman.

Melihat kami hendak hengkang, Usman meminta kami menulis nama, alamat, dan kesan di buku besar. Kemudian ia bercerita tentang hal-hal yang tidak tercatat di prasasti atau dokumentasi. Mungkin ia merasa perlu mengatakan sesuatu yang mungkin tidak diketahui pengunjung.

"Ini dulu jalan utama. Kapalnya pas di tengah," kata Usman sambil menunjuk jalan beraspal di depan pos jaganya. Jika ditarik garis lurus, maka posisi kapal melintang di tengah jalan.

"Di kepala kapal itu makam. Katanya, makam keramat," imbuhnya.

Seolah tak ingin kami tinggalkan, Usman masih berkisah tentang cikal bakal dijadikannya PLTD Apung sebagai kawasan wisata tsunami. Menurutnya, meski masih bisa digunakan, kapal tidak mungkin dibawa ke laut lagi, karena selain sulit, biayanya juga mahal.

"Makanya tetap dibiarkan di sini. Sekalian untuk mengenang, biar orang tahu tsunami seperti apa," katanya.

"Di bawah kapal itu ada rumah warga. Pemiliknya selamat, sekarang tinggal di situ," imbuhnya sambil menujuk rumah berpagar besi yang jaraknya sekitar 100 meter dari PLTD.

Bagi warga setempat atau orang sudah pernah berkunjung ke Aceh dan monumen tsunami lainnya, mungkin kisah-kisah itu terdengar biasa. Tapi bagi orang luar yang hanya bisa melihat tsunami dari layar kaca atau media massa beberapa tahun silam, kisah itu memberi warna dan jadi ilustrasi untuk duka yang tak terkira. PLTD Apung ini adalah salah satu jejaknya










No comments:

Post a Comment